Generasi Bangsa Ini, Diajarkan Untuk Lupa
(Balada Taman Bung Karno di Ende)
“He turun, sembarang saja, ko tahu tidak, itu Presiden Indonesia yang pertama? Tidak tahu hormat, pigi duduk lagi di atas kepala Presiden. Ko punya orang tua tidak pernah ajar kah?!”
Hardikan itu
keluar dari mulut saya. Jelas saya marah, marah sekali. Sebagian orang yang ada di situ pasti berpikir saya tidak waras atau sedang putus asa. Kenapa saya bisa
semurka itu?
***
12 September
2016, saya akhirnya dapat berkunjung lagi ke Taman Bung Karno bersama dengan beberapa
kawan SMA. Kami jalan-jalan dan melihat-lihat kembali Taman yang tiga tahun
lalu diresmikan.
Bulan Juni 2013,
saya kebetulan juga sedang ada di Ende untuk berlibur. Taman ini diresmikan dan
dibuka untuk umum. Acara peresmiannya sangat lah meriah, bertepatan dengan Hari
Lahir Pancasila. Ilham akan Pancasila itu sendiri disimbolkan dengan Pohon
Sukun yang berdiri tepat di samping Patung Bung Karno yang sedang duduk menatap
jauh ke Pantai Ende. Konon katanya, di bawah Pohon itu lah Bung Karno
berkontemplasi demi merumuskan Falsafah Negara Indonesia, Pancasila. Taufiek
Kiemas selaku Ketua MPR hadir saat itu, dan Bapak Boediono selaku Wakil
Presiden RI turut datang sebagai yang meresmikannya.
Foto: AntaraNews.Com
Awal dibuka, saya terpesona. Ciamik lah pokoknya. Pertama kali dan satu-satunya yang hadir di Kota Ende. Dulunya, saat masih anak ingusan yang ke Lapangan Perse/Lapangan Pancasila hanya jika ada Upacara Bendera 17-an atau Hari Pramuka, melihat Pohon Sukun yang dipagari itu hanya sambil lalu saja, bukan hal yang besar apalagi menarik. Kemudian saat hal tersebut berubah menjadi perhatian Nasional, saya begitu bangga. Ada harapan yang besar menggantung di atas ubun-ubun. Saya gencar memamerkannya kepada kawan-kawan di luar daerah, khususnya yang belum pernah ke Ende.
Awal dibuka, saya terpesona. Ciamik lah pokoknya. Pertama kali dan satu-satunya yang hadir di Kota Ende. Dulunya, saat masih anak ingusan yang ke Lapangan Perse/Lapangan Pancasila hanya jika ada Upacara Bendera 17-an atau Hari Pramuka, melihat Pohon Sukun yang dipagari itu hanya sambil lalu saja, bukan hal yang besar apalagi menarik. Kemudian saat hal tersebut berubah menjadi perhatian Nasional, saya begitu bangga. Ada harapan yang besar menggantung di atas ubun-ubun. Saya gencar memamerkannya kepada kawan-kawan di luar daerah, khususnya yang belum pernah ke Ende.
Saya mengajak mereka, Ayo ke Kampung Halaman
saya, di sini Bapak Proklamator kita menemukan landasan Negara tercinta. Mungkin
ketika kamu ke sini kamu akan lebih paham tentang Indonesia yang sesungguhnya, yang
sekarang mulai carut-marut.
Foto: Dokumen Pribadi
Beberapa bulan setelahnya, ada sebuah gerakan dari anak-anak muda di Ende yang diberi judul "Relawan Taman Bung Karno." Mereka punya kepedulian melalui aksi nyata untuk memastikan Taman ini tetap tampil paripurna meskipun sebenarnya hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah yang dilimpahkan melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Ende.
Nama Relawan
tersebut sekarang berganti menjadi “Relawan Bung Karno” yang tetap
melakukan kegiatan sosial di lingkungan masyarakat. Mereka tidak mengurusi lagi
perihal taman ini karena Dinas Pariwisata dengan tegas mengeluarkan kebijakan
untuk mengurus sepenuhnya kondisi Taman ini.
Kemudian, satu tahun lalu. Ada fenomena mengejutkan yang terjadi sebab salah satu Pejabat justeru memanfaatkan Lokasi Taman ini untuk menyelenggarakan Pesta Pernikahan anaknya. Banyak pihak menentang akan tetapi resepsi tetap dilaksanakan.
Link
beritanya dapat dilihat di sini: Gelar Pesta di Situs Bung Karno, Wakil Bupati Ende Diprotes
Tiga tahun
empat bulan dua belas hari dari hari Peresmian, saya ke sini lagi dan menemukan
pemandangan berikut.
Foto: Dokumen Pribadi
Sebelum saya mendapatkan gambar-gambar di atas,
saya sempat seperti orang gila ngamuk ngamuk tak jelas terhadap satu anak
laki-laki yang nekat naik sampai ke puncak kepala patung dan duduk di sana
untuk berfoto. Sebagaimana yang saya ilustrasikan pada awal tulisan ini.
Bukan hanya
itu, pompa air yang sebelumnya digunakan untuk menyalurkan air ke kolam tempat patung duduk di atasnya, sudah
tidak ada. Telah lama dicuri. Isu beredar, hanya beberapa bulan setelah
peresmian, pencurian itu terjadi.
Beberapa pertanyaan muncul "Apakah memang masyarakat kita belum siap dengan hal-hal semacam Situs Konservasi Sejarah atau Monumen Nasional sehingga sama sekali tidak ada kesadaran untuk menjadikan tempat seperti ini sebagai tempat yang berharga, dijaga dan diperkenalkan kepada anak cucu? Dan Pemerintah, ke mana? Pemerintah selaku Penanggung Jawab resmi dan jelas garis hirarkinya?
Fenomena ini
cenderung terjadi di Nusa Tenggara Timur. Bukan baru kali ini saya menemukan situasi semacam ini. Sejak dahulu kala, memang seperti ini. Di berbagai tempat yang dikelola Pemerintah, khususnya ruang publik. Kenapa selalu saja pembangunan sarana
publik seperti panas tahi ayam. Dibangun, dimanfaatkan hanya beberapa saat (dan
selalu singkat) lalu dibiarkan begitu saja tak terawat hingga menjelma bangunan
kosong atau taman yang gersang tak terurus, bisa sebaliknya juga, seperti hutan liar dihuni para reptil.
Ini semua
tidak dibangun dengan daun atau waktu semalam sebagaimana Bandung Bondowoso Membangun
candi bagi Roro Jonggrang agar lamarannya diterima. Bukan kah biaya perawatan
bakal lebih murah dari pada biaya merenovasi kembali semuanya??? Dan saya yakin
dana APBD untuk hal semacam itu PASTI ADA. Orang Ende bilang, Wonge mule demi
iwalatu!!! (Artinya: Bohong besar jika
tidak ada dana untuk itu)
Tak ada yang salah dengan menempatkan seorang Petugas yang berjaga di depan gerbang. Jika memang tiket masuk dibebaskan, paling tidak ada security check untuk memastikan semua kegiatan di dalam taman berlangsung aman dan nyaman bagi semua pengunjung. Petugas ini juga bisa menyiapkan semacam brosur atau katalog sederhana yang berisi tetang Taman Bung Karno. Brosur atau katalog ini sebagai pengantar sebelum pengunjung masuk dan berkeliling melihat-lihat, bersantai dan berfoto. Zaman sekarang, foto saja tidak cukup, foto yang memiliki narasi jelas lebih bermanfaat. Bukan sekedar pajangan menjadi sampah linimasa.
Tak ada yang salah dengan menempatkan seorang Petugas yang berjaga di depan gerbang. Jika memang tiket masuk dibebaskan, paling tidak ada security check untuk memastikan semua kegiatan di dalam taman berlangsung aman dan nyaman bagi semua pengunjung. Petugas ini juga bisa menyiapkan semacam brosur atau katalog sederhana yang berisi tetang Taman Bung Karno. Brosur atau katalog ini sebagai pengantar sebelum pengunjung masuk dan berkeliling melihat-lihat, bersantai dan berfoto. Zaman sekarang, foto saja tidak cukup, foto yang memiliki narasi jelas lebih bermanfaat. Bukan sekedar pajangan menjadi sampah linimasa.
Tak ada yang keliru dengan Pagar yang
mengelilingi Patung disertakan sebuah tulisan "Dilarang naik dan berfoto
sampai ke atas Patung.” Sebagaimana yang sering kita temukan saat berkunjung ke
Situs sejarah, Monumen atau Museum Perjuangan.
Petugas kebersihan
dan perawatan? Sama sekali tidak ada. Jika ada, tidak mungkin kondisi taman
persis kondisi Bangsa yang sekarang borok di mana-mana. Iya, kondisi Indonesia
yang penuh dengan isu KEMISKINAN, HAM dan SARA di setiap pelosok daerah
sementara masyarakatnya malah fokus menonton sinetron-sinetron India dan Turki
yang tayang hampir 24 Jam di Televisi Nasional.
Ini bukan sembarang patung, ini bukan patung sekedar hiasan di gapura selamat datang yang bisa kau ajak berfoto untuk dipamerkan bahwa kau telah tiba di kota tertentu. Ini patung yang adalah sarana bagaimana cara kita mencuci otak anak cucu bangsa ini agar mengenal Pahlawan serta Falsafah Bangsa dan Negara kita. Menghargai Jasa Orang-orang yang sudah menjadikan Negara ini ada, Indonesia yang seperti sekarang.
Ini bukan sembarang patung, ini bukan patung sekedar hiasan di gapura selamat datang yang bisa kau ajak berfoto untuk dipamerkan bahwa kau telah tiba di kota tertentu. Ini patung yang adalah sarana bagaimana cara kita mencuci otak anak cucu bangsa ini agar mengenal Pahlawan serta Falsafah Bangsa dan Negara kita. Menghargai Jasa Orang-orang yang sudah menjadikan Negara ini ada, Indonesia yang seperti sekarang.
Apakah kita
akan tetap menjadi Bangsa yang besar ketika kita tidak menghargai
Pahlawan-pahlawan kita? Tidak ingin mencari tahu bagaimana sesungguhnya Sejarah
Bangsa ini bergulir hingga saat ini? Bagaimana setiap peristiwa telah
menghantarkan kita bukan hanya ke depan pintu gerbang Kemerdekaan melainkan juga
menjadi seperti alarm bagi kita untuk tetap mempertahankan Kemerdekaan yang
sudah kita nikmati. Segala hal yang dibangun pasti ada tujuannya toh?!
16 September 2016, Situs Bung Karno diumumkan sebagai Juara I Pemenang Anugerah Pesona Indonesia 2016 sebagai kategori Situs Sejarah paling Populer. Bisa dibaca di sini: Inilah Destinasi Wisata Favorit Pemenang Anugerah Pesona Indonesia
16 September 2016, Situs Bung Karno diumumkan sebagai Juara I Pemenang Anugerah Pesona Indonesia 2016 sebagai kategori Situs Sejarah paling Populer. Bisa dibaca di sini: Inilah Destinasi Wisata Favorit Pemenang Anugerah Pesona Indonesia
Ketika orang
berkunjung ke Situs Bung Karno, mereka tentu saja tidak mau ketinggalan untuk
singgah ke Taman Bung Karno. Kedua tempat ini memiliki kaitan yang sungguh
erat.
Lalu, apakah
kita masih ingin membiarkan situasi ini? Sampai kapan?
Bukankah sebagian cerita diatas pernah diungkap di halaman ini ? Tentang taman yang digunakan resepsi pernikahan anak pejabat setempat ?
BalasHapusSebagian pernah diceritakan bersama foto di Akun Instagram dan Facebook saya, Bli Pande yang baik hati. Suksma, sudah mampir :D
Hapusdan soal marah di awal, mirip Nagabonar #2 ya ? 😂
BalasHapusYa Tuhan, hahaha Nagabonar Jadi Dua? Dedi Mizwar dan Tora Sudiro? Semoga saya bukan Wulan Guritnonya #eh
HapusWaaaah ftonya om pande jeg keren sekeren tulisan diatas
BalasHapusTerima Kasih Gandhi Baik, sudah mau mampir dan baca. Panjang yak? hahahaha
HapusApa mungkin sebaiknya ada biaya masuk untuk masuk ke taman? sekedar untuk menyaring orang-orang yang niatnya cuma merusak/vandalisme. Ya ini semacam kalo konser gratis pasti suka rusuh -_-'
BalasHapusItu juga usul yang bagus. Akan tetapi Budaya Membayar Pass Masuk di Daerah Timur masih sedikit sulit diterapkan. Sebagian besar jadi urung ke tempat seperti ini sebab dirasa tidak masuk akal bagi mereka, sebagian lagi malah malas membayar dan menimbulkan masalah jika dikenakan tarif masuk. Tetapi, saran ini seharusnya bisa dipertimbangkan oleh pengelola a.k.a Pemerintah Daerah.
Hapus